Hallway of Memories

175

Dilihat

Angin menyapa wajahku seakan menarikku ke dalam dunianya, di mana aku menjadi tokoh utama. Ku susuri lorong perpustakaan dengan khidmat, menghayati setiap keadaan dan kenangan yang tertancap erat. Ku hentikan langkah di sebuah lorong. Lorong kenangan. Buku-buku yang berjejer masih sama, hanya saja tercium aroma disinfektan yang kuat karena perpustakaan belum lama ini disterilisasi. Buku berjudul ‘Orang-Orang Biasa’ karya Andrea Hirata adalah buku pertama yang kuambil. Buku inilah yang mempertemukanku dengan Kak Aam. Sosok yang telah mengubah dan menginspirasiku untuk tidak mudah menyerah dalam menggapai cita-cita. Sosok yang mengajarkanku untuk selalu semangat dalam belajar dan fokus terhadap tujuan.

Aisha Rinaia Fairuz, itulah namaku. Gadis berumur 14 tahun yang introvert, pesimis dan takut menghadapi kenyataan hingga aku menemukan seseorang yang mengubah hidupku 180. Hari ini aku kembali menampakkan batang hidungku di tempat favoritku. Di sudut perpustakaan daerah dekat rumahku.

Anganku kembali melayang teringat kenangan indah bersamanya, seseorang yang menjadi inspirasiku. Setahun yang lalu, aku bertemu dengannya di sini. Namanya Amir Fatih Khossaeni. Aku memanggilnya Kak Aam.

“Matematika selesai! Finally, Ican finished it in an hour. This is my new record.” Mataku berbinar karena sudah menyelesaikan tugas Matematika. Aku suka Matematika, sulitnya soal Matematika menjadi tantangan bagiku. Tapi aku juga suka buku-buku fiksi yang tersusun rapi di rak-rak perpustakaan. Buku-buku yang seringkali membuyarkan fokusku dalam belajar. Sejenak aku memutuskan untuk istirahat dan berkeliling di perpustakaan sambil melihat dan mengamati keadaan. Mataku bersirobok dengan sebuah buku yang tergeletak di meja pojok tepat di seberangku. Aku bergegas menghampiri dan mengambilnya. Judul bukunya adalah Orang-Orang Biasa. Tanpa memerhatikan keadaan, aku langsung mencomotnya dari meja.

“Ehm! Maaf, buku ini baru saja mau saya baca,” ucap seorang lelaki yang duduk tepat di depan bangku di mana buku itu diletakkan.

“Astaghfirullah Rin, kamu ini ceroboh banget, sih. Aduh…gimana nih bilangnya,” gumamku cemas.

”Eh iya. Saya mohon maaf, Kak. Saya tidak tahu kalau ini punya kakak.” Aku meminta maaf dengan muka memerah saking malunya.

“Kalau kamu suka banget sama bukunya, boleh kok ambil saja. Gimana menurutmu buku-buku karyanya…“

Kakak ini ngomongnya banyak banget, aku kira dia juga introvert sepertiku dan gak suka banyak omong ternyata memang penampilan tidak menentukan sifat ya, gumamku dalam hati.

Tapi kamu sebaiknya izin dulu ke orangnya kalau mau pinjam sesuatu, kalau tidak izin pasti kamu langsung dapat ceramah dengan rumus volume balok,” lanjut kakak itu. Kakak itu kembali sibuk dengan kegiatannya. Takut kalau aku akan menganggunya, aku pun berterimakasih dan mengucapkan salam. Kakak itu membalas salamku sambil berkata,

“Kalau kamu tidak keberatan, bergabunglah denganku di sini. Sepertinya kamu sedang kesulitan mengerjakan tugasmu. Aku ini pintar lho. Kukira kita dapat menjadi teman diskusi yang baik, lagipula aku sedang luang.”

Orang ini percaya diri banget, ngobrol dengan orang sepertiku yang baru kenal beberapa menit yang lalu saja kayak sudah kenal seabad, gerutuku lagi.

”Eh, tapi kalau tidak mau tidak apa-apa kok. Aku hanya ingin mencoba membantu,” ucap kakak itu tersenyum.

”Eh..eh..sa-saya ti-tidak keberatan kok. Justru saya merasa sangat terbantu,”sahutku sambil berjalan menuju meja kakak itu.

Hari itu, tanggal 20 Februari 2020 merupakan hari yang mendebarkan sekaligus memalukan. Kenanganku menerawang.

“Kamu kelas berapa sekarang?”

”Saya kelas 9, Kak.”

”Owh iya, rasanya tidak sopan kalau belum memperkenalkan diri. Namaku Amir Fatih Khosseini, panggil saja kak Aam. Namamu siapa?” Tanyanya lagi.

“Nama saya Aisha Rinaia Fairuz,biasa dipanggil Rina,” sahutku. Kak Aam tidak membalas, ia kembali sibuk dengan laptop dan buku di depannya. Selama lima menit kami berada dalam keheningan. Aku tak tahu harus memulai dari mana untuk berkata. Aku yang sangat introvert dan pemalu harus berada di hadapan dengan spesies adam, membuatku makin grogi.

”Rencananya mau masuk SMA mana? Aku ada beberapa rekomendasi web untuk belajar,,mau tidak?”

Keheningan itu akhirnya pecah oleh sebuah pertanyaan darinya.

”Sedari awal masuk SMP, saya sudah mendambakan SMA Permata Insan. Saat ini SMA itu merupakan tujuan utama saya karena favorit nasional. Banyak orang pintar di sana,” jawabku terus terang.

“Wah, kebetulan sekali. Aku siswa kelas 11 di sana,” sahut kak Aam.

”Tapi jangan pesimis gitu dong! Sedari kita bertemu tadi, kelihatannya kamu sedikit minder dan tidak pede, ya?“

Ini orang psikolog kali, ya. Bisa tiba-tiba tau sifatku, gumamku.

“Benar tidak yang saya bilang tadi?” tanyanya mengintimidasi.

Aku terdiam tidak menjawab. “Kalau kamu mau masuk sekolah itu, cobalah hilangkan sifat minder dan giatlah belajar. Pasti kamu bertanya kenapa aku bisa tahu, kan? Karena aku pernah merasakan apa yang kamu rasakan. Dan itu membuat hidupku kacau. Sebaiknya kamu ubah semua sifat itu mulai sekarang.” Nasehat Kak Aam.

Beberapa menit berlalu dengan kecanggungan. Tidak ada seorangpun yang memulai perbincangan. Hening. Lagi-lagi, Kak Aam terlihat fokus dengan buku-buku di depannya. Benar-benar menakjubkan, dalam suasana seperti ini dia tetap fokus, sedangkan aku oleng ke sana-sini. Sepertinya aku benar-benar harus berguru dengannya, gumamku lagi. Pertemuan itu berakhir dengan janji untuk ketemuan besok di kafe seberang perpustakaan.

21 Februari 2020

Siang ini langit bersedih. Sayup kudengar berita dari televisi di ruang keluarga. “Diberitakan bahwa telah muncul virus baru di China yang diduga berasal dari kelelawar. Saat ini, Virus tersebut telah memakan banyak korban. Diduga virus ini dapat menyebar dengan cepat ke berbagai penjuru dunia.”

“Astaghfirullah, mulai hari ini kita harus lebih memperhatikan kesehatan dan melakukan tindakan pencegahan dari penularan virus tersebut serta perbanyak berdoa dan ibadah,” Ibuku berkata sambil mendengarkan berita di televisi. Aku yang sekilas mendengar merasa ngeri.

Aku bersiap-siap ke kafe. Kak Aam melambaikan tangannya kepadaku, sepertinya ia terbiasa disiplin mengenai waktu.

”Tumben tidak bawa laptop, lagi free tugas, ya?” tanyanya tersenyum jahil. “Oh iya, ini website belajar yang aku bilang kemarin. Ada tiga sih, tapi aku saranin yang ini aza karena lebih efektif.”

”Wah, makasih banyak Kak. Ehmmm, s-sa-saya mau minta tips dari kakak dong tentang sifat saya yang cenderung minder seperti kemarin kakak bilang.”

“Gimana ya, susah sih jelasinnya karena saat itu sebagian dari dirimu sedang melawan sebagian yang lain. Aku tidak tahu tips yang diberikan bisa efektif atau tidak, karena sewaktu aku seumuran denganmu, melawan semua itu bisa dibilang tingkat kesulitannya A+ melebihi soal Matematika” jelasnya tertawa. Kak Aam tersenyum lebar. Di dalam matanya, aku melihat secercah harapan. Akupun ikut tersenyum. Kak Aam merekomendasikan sebuah buku self-help berjudul Just Be Yourself. Katanya, dulu dia memulai perjuangan melawan sebagian sifat jelek dari dirinya dengan memulai membaca buku ini. Dia menyuruhku untuk lebih memahami makna dan isi buku ini. Kak Aam juga memberikan rekomendasi buku untuk belajar Matematika. Selain itu dia juga menyarankan kepadaku untuk ikut olimpiade Matematika.

Di rumah, aku melaksanakan semua tips yang diberikan Kak Aam. Ketika aku mulai membaca bab pertama, aku mulai merenung. Aku pun mencatat dan merangkum poin penting di buku noteku.

23 Februari 2020

Semakin hari, virus Covid 19 makin merajalela, bahkan menyebar ke semua negara di dunia. Korban jiwa mulai meningkat pesat. Banyak issu di media sosial yang menyebar, beberapa ada yang hoax dan terlalu dilebih-lebihkan tetapi beberapa juga benar-benar terpercaya.

Aku memulai hariku dengan mengucapkan Alhamdulillah. Itu merupakan kalimat ajaibku yang tidak akan pernah kulewati setiap harinya. Aku dan Kak Aam membuat janji bertemu di taman pagi ini. Ibu menyuruhku untuk lebih memperhatikan stamina dan kesehatanku serta selalu memakai masker dan mengunakan hand sanitizer kemanapun aku pergi.

Hari demi hari kulalui bersama Kak Aam. Setiap hari kami bertemu di perpustakaan untuk membahas atau berdiskusi tentang pelajaran Matematika. Terkadang kami hanya berbincang tentang novel atau buku fiksi yang sedang dibaca. Sejauh ini aku mulai merasakan perubahanku dalam diriku berkat kak Aam dan juga dukungan dari keluarga serta sahabat karibku. Aku mulai bisa menghilangkan sebagian sifat minder dan tidak percaya diri yang hampir membuatku terpuruk. Aku merasakan sosok Kak Aam sebagai inspiratorku dalam belajar dan menuntut ilmu. Dia yang mengajarkan banyak hal tentang Matematika dan menganjurkanku untuk semangat mengikuti olimpiade Matematika.

Akhirnya dikabarkan bahwa pada tanggal 28 Maret 2020 virus Covid-19 masuk ke Indonesia. Virus ini menyerang sebuah keluarga di Bekasi hingga akhirnya menyebar hampir ke seluruh Indonesia. Sebagaimana teman-temanku yang lain, aku pun tidak dibolehkan keluar rumah dengan leluasa. Pemerintah mengeluarkan peraturan dan menetapkan protokol kesehatan untuk mencegah penyebaran virus Covid-19. Semua kegiatan termasuk kegiatan belajar mengajar dan kegiatan perkantoran dialihkan ke daring. Karena keadaan, aku dan Kak Aam pun tak lagi bertemu. Perbincangan dan diskusi kami hanya melalui hp. Walaupun demikian Kak Aam selalu berusaha meluangkan waktunya untuk mengobrol ataupun membahas pelajaran melalui hp. Tiada hari tanpa chat-an dengan Kak Aam.

Enam bulan berlalu semenjak mewabahnya virus covid-19. Hari ini merupakan hari pendaftaran masuk SMA. Ya, aku ingin segera berada di kelas 10. SMA Kak Aam merupakan SMA yang kudambakan dan telah membuka pendaftaran. Aku akan mengikuti ujian masuk sebulan mendatang. Selama itu pula aku hanya fokus belajar dan tidak pernah lagi chat dengan kakak Aam.

Sebulan berlalu, hari ini adalah hari pengumuman hasil ujian masuk SMA Permata Insan. Aku dan ibu pergi ke sekolah itu bersama, tentunya tetap menjaga protokol kesehatan. Matahari bersinar cerah memancarkan kehangatannya bagi dunia yang sedang berduka karena wabah yang berkepanjangan. Saat ini perasaanku campur aduk seperti es campur. Harap-harap cemas terhadap hasil ujian masuk, sedih karena keadaan tanah air tercinta yang sedang tidak baik-baik saja, dan perasaan gamang karena selama sebulan ini Kak Aam tidak menghubungi ataupun sekadar chat. Kemarin aku coba nge-chat tetapi hanya centang satu abu-abu. Aku sedikit cemas tetapi tetap mencoba untuk tetap berhusnudzon.

“Rin, turun sudah sampai” ucap Ibuku menyadarkanku dari lamunan. Gedung setinggi tiga lantai berwarna biru bergradasi hijau itu terpampang di depan mataku. Seperti yang kuduga, kak Aam merupakan salah satu siswa berprestasi di SMA ini. Sebuah spanduk menyambutku dengan tulisan, Selamat kepada Amir Fatih Khosseini mendapatkan medali emas dalam Olympiade Of Mathematics tingkat Internasional di Jepang.

“Masya Allah, ini mah prestasinya bukan main -emot nangis- “ucapku kagum.

“Rin, ngelamunin apa sih? Ayo cepat lihat papan pengumumannya.”

“Bu, lihat nih. Aku diterima. Alhamdulillah!” ucapku senang bukan kepalang. Ibu ikut senang. Setelah melihat papan pengumuman, ibu ke ruang guru karena ada hal yang ingin ditanyakan. Aku memutuskan untuk berkeliling sekitar sekolah untuk menghilangkan gabut. Salah satu kantin sekolah itu ada yang masih buka, aku menuju ke sana. Saat sedang membeli nasi goreng, tiba-tiba anak ibu warung berbicara.

“Mah, di grup ada pengumuman dari kepala sekolah, nih.” Ibu kantin melihat handphonenya,

“Innalillahi wa inna ilaihi raajiun! Temanmu Amir meninggal, Nak.” Kata ibu kantin menatap benda pipih berbentuk kotak itu.

Hah, tu-tunggu tadi kata ibu itu siapa? Amir? Apa Kak Aam?

“Siapa, Ma? Amir? Maksud Mama, Amir Fatih Khosseini?” tanya gadis itu menegaskan. Ibu kantin mengangguk. Aku syok bukan kepalang. Aku tidak percaya dengan apa yang diucapkan ibu kantin itu. Kelopak mataku berusaha menahan air mata. Aku berharap ini hanya mimpi, di mana aku berperan sebagai tokoh figuran yang hanya sekadar lewat.

Setelah nasi goreng yang kupesan jadi, aku langsung membayar. Kakiku ingin segera berlari ke tempat sepi, tetapi tubuhku seakan tidak mau bekerja sama. Aku menangis sepanjang jalan, bahkan nasi goreng yang kubawa ikut menjadi korban. Ku kira rasanya akan semakin asin. Pikiranku benar-benar kosong. Aku merasa tidak bisa menjadi adik yang baik bagi Kak Aam. Tidak bisa membalas budi atas apa yang telah dilakukan. Perasaan bersalah menyerangku dari berbagai arah.

“Rin, ayo pulang. Ibu sudah selesai,” Ibuku menyadarkanku. Aku segera menghapus air mata dan naik ke motor .

Semilir angin siang menyapa tubuhku, langit bersinar cerah tetapi tidak secerah dan sehangat perasaanku. Tubuh dan pikiranku lelah seakan meminta untuk memejamkan mata. Sayup terdengar suara yang familiar.

Halo Rina, sepertinya kita ketemu lagi! Gimana kabar kamu? Alhamdulillah saya baik-baik saja sekarang. Sehari setelah kamu mengabarkan bahwa tidak ingin chat-an dulu selama sebulan, tubuhku terserang virus. Aku diisolasi dan dirawat, makanya aku tidak sempat chat-an denganmu juga, maaf ya. Jangan menyesali diri, gitu dong! Ini bukan salah siapapun. Semua ada di tangan Allah. Kita tidak tahu bagaimana ke depannya. Gak usah nangis lagi. Jangan jadikan ini sebagi penyesalan. Jangan lupakan semua yang sudah saya ajarkan. Jangan sampai semuanya jadi sia-sia. Tidak usah meminta maaf, perjalananmu masih panjang, jangan ada kata menyesal dalam hidupmu, selalu tebarkan senyuman pada setiap orang, jangan lupa terus belajar, jangan mudah menyerah dalam mengapai cita-cita, selalu berusaha dan berdoa. Don’t forget to smile everyday. Aku sangat bersyukur bisa bertemu orang seperti kamu.

Di akhir kalimatnya, kak Aam berkata “Teruslah berjuang!” Bayangan itu semakin memudar kemudian lenyap. Perlahan aku membuka mata dan terbangun dari tidur. Bantal yang kutiduri basah oleh air mata.

Menyusuri lorong ini membuatku mengenang kembali tentang pertemuan pertamaku. Aku keluar dari perpustakaan daerah. Tanganku menenteng dua buah buku yang banyak mengubah hidupku. Buku yang menjadi kenang-kenangan akan sosoknya. Kukeluarkan secarik kertas dari tas selempangku. Tertulis sebuah alamat yang baru saja kudapat dari petugas perpustakaan. Aku menuju tempat itu.

Amir Fatih Khosseini, sederet tulisan tercetak jelas di atas nisan hitam. Setahun berlalu semenjak kepergiannya, aku baru mengetahui tempat peristirahatan terakhirnya. Aku memang bukan adik yang baik, tetapi aku akan berusaha menjadi yang terbaik. Aku akan menceritakan kepada dunia, bahwa di balik sosok bernama Rina ini ada banyak orang berharga dan special yang bisa membuat dirinya seperti sekarang.

Sampai bertemu lagi Kak Aam, perpustakaan akan tetap menjadi tempat favoritku dan dirimu juga.sis

Penulis : Aqilla Aswan Saqina
Editor : Eti Muhamad, M.Pd

Info
Penulis :
Tanggal : 30 January 2023
Pembaharuan : 30 January 2023
Bagikan halaman ini
Tags