Gerhana Dalam Perspektif Islam
186
Dilihat
Gerhana bulan dan gerhana matahari merupakan fenomena alam yang dapat diprediksi kapan akan terjadi. Gerhana, dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah kusuf untuk gerhana matahari dan khusuf untuk gerhana bulan. Sedangkan dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah moon eclipse untuk gerhana bulan dan solar eclipse untuk gerhana matahari. Pada dasarnya, istilah kusuf dan khusuf dapat digunakan untuk menyebut gerhana matahari dan bulan. Namun, pada realitanya kata kusuf lebih dikenal untuk matahari, dan khusuf untuk bulan (Khazin, 2004: 187).
Gerhana matahari atau kusuf merupakan peristiwa tertutupnya sinar matahari oleh bulan sehingga matahari tidak tampak dari bumi. Pada gerhana matahari posisi bulan terletak di antara bumi dan matahari, sehinga terlihat menutupi sebagian atau seluruh cahaya matahari. Para astronom dan dokter mata memperingatkan agar tidak melihat gerhana matahari secara langsung karena dapat merusak mata. Sedangkan gerhana bulan atau khusuf adalah peristiwa saat kedudukan bulan, bumi, dan matahari membentuk garis lurus. Kedudukan bumi berada di antara bulan dan matahari. Pada saat gerhana bulan, cahaya matahari yang seharusnya diterima bulan terhalangi oleh bumi. Bulan berada dalam bayang-bayang bumi. Bayang-bayang bumi ada dua macam, yaitu umbra dan penumbra. Gerhana bulan hanya mungkin terjadi pada malam hari ketika bulan purnama. Gerhana bulan tidak berbahaya bagi kesehatan mata, sehingga bisa dilihat secara langsung dengan mata telanjang.
Dalam pandangan Islam, terjadinya gerhana merupakan fenomena alam yang menunjukkan bukti kekuasaan dan kebesaran Allah swt. Penciptaan matahari, bulan, bumi dan planet-planet lainnya telah diatur posisi dan peredarannya. Masing-masing planet bergerak sesuai garis edarnya. Semua bergerak teratur, tidak ada yang saling mendahului. Allahswt., berfirman dalam surah Al-Anbiya: 33:
وَهُوَ ٱلَّذِى خَلَقَ ٱلَّيْلَ وَٱلنَّهَارَ وَٱلشَّمْسَ وَٱلْقَمَرَ ۖ كُلٌّ فِى فَلَكٍ يَسْبَحُونَ
“Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan. Masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam garis edarnya.”
Terjadinya gerhana secara gamblang menunjukkan bahwa ada kekuatan Yang Maha Agung yang mengatur alam semesta di luar batas kemampuan manusia. Peristiwa gerhana sejatinya membuat seorang hamba merasa rendah dan lemah di hadapan Sang Pencipta. Allah swt., Dalam Surah Fushshilat ayat 37 Allah swt.,berfirman:
وَمِنْ اٰيٰتِهِ الَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُۗ لَا تَسْجُدُوْا لِلشَّمْسِ وَلَا لِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوْا لِلّٰهِ الَّذِيْ خَلَقَهُنَّ اِنْ كُنْتُمْ اِيَّاهُ تَعْبُدُوْنَ
“Dan sebagian dari tanda-tanda kebesaran-Nya ialah malam, siang, mata-hari dan bulan. Janganlah bersujud kepada matahari dan jangan (pula) kepada bulan, tetapi bersujudlah kepada Allah yang menciptakannya, jika kamu hanya menyembah kepada-Nya.”
Dalam keterangannya kepada Republika.co.id, di Jakarta, Kamis (26/12), Ketua Asosiasi Dosen Falak, Ahmad Izzuddin, mencatat ada delapan kali gerhana yang terjadi selama masa Nabi saw., yaitu lima gerhana bulan dan tiga gerhana matahari. Suatu kali Gerhana matahari pernah terjadi bertepatan dengan waktu wafatnya putra Rasulullah saw., yaitu Ibrahim yang masih berusia sangat muda. Riwayat hadits yang menyebutkan peristiwa duka ini diriwayatkan dari Mughirah bin Su'bah ra,
عن الْمُغِيْرَةُ بْنِ شُعْبَةِ يَقُوْلُ اِنْكَسَفَتْ الشَّمْسُ يَوْمَ مَاتَ اِبْرَاهِيْمُ فَقَالَ النَّاسُ اِنْكَسَفَتْ لِمَوْتِ اِبْرَاهِيْمُ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَأَيَتَانِ مِنْ أَيَاتِ اللهِ لاَ يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلَا لِحَيَاتِهِ فَإِذَا رَأَيْتُمُواهُمَا فَادْعُوا اللهِ وَصَلّوا حَتَّى يَنْجَلِيَ (البخاري)
“Dari Al-Mughirah bin Syu’bah berkata, “Telah terjadi gerhana matahari ketika wafatnya Ibrahim. Kemudian Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda dari tanda-tanda kebesaran Allah, dan ia tidak akan mengalami gerhana disebabkan karena mati atau hidupnya seseorang. Jika kalian melihat gerhana keduanya, maka berdoalah kepada Allah dan dirikan salat hingga (matahari) kembali tampak.” (H.R. Al-Bukhari)
Berdasarkan riwayat hadits tersebut, masyarakat Arab saat itu mengira bahwa terjadinya gerhana merupakan tanda berduka atas wafatnya putra Rasulullah saw. Mereka berkata, “Matahari mengalami kusuf karena kematian Ibrahim, “Rasulullah lantas menegaskan dan meluruskan keyakinan yang salah tersebut. Beliau menyampaikan bahwa terjadinya gerhana, baik matahari atau bulan merupakan bukti atas kebesaran Allahswt. Kemudian Rasulullah saw., mengajak mereka untuk memperbanyak doa, zikir, dan melaksanakan sholat gerhana dengan tujuan mengagumi kebesaran Allah swt., atas penciptaan Mmtahari dan bulan.
Islam mengajarkan kepada umatnya untuk melakukan beberapa amalan ketika terjadi gerhana, di antaranya sebagai berikut:
1. Perbanyak zikir, doa, dan istigfar
فإذا رَأَيْتُمْ منها شيئا فَافْزَعُوا إلى ذِكْرِهِ وَدُعَائِهِ وَاسْتِغْفَارِهِ [رواه البخاري ومسلم[
“Maka apabila kamu melihat hal tersebut terjadi (gerhana), maka segeralah melakukan zikir, doa dan istigfar kepada Allah. [HR al-Bukhari dan Muslim].
2. Melaksanakan shalat gerhana
Menurut Jumhur ulama, salat gerhana, baik gerhana bulan maupun gerhana matahari hukumnya sunnah muakkad. Salat gerhana terdiri dari dua rakaat dengan empat kali ruku’ dan empat kali sujud.
Dalam melaksanakan shalat gerhana, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu:
a. Pada salat gerhana tidak ada azan dan iqamah. Panggilan untuk melaksanakan salat gerhana adalah al-ṣalātu jāmi’ah. Hal ini berdasarkan hadis dari ’Aisyah:
عن عائشة رضي الله عنها أن الشمس خَسَفَتْ على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم فبعث مُناديا ينادي: الصلاة جامعة، فاجْتَمَعوا، وتقَدَّم، فكَبَّر وصلَّى أربعَ ركعات في ركعتين، وأربعَ سجَدَات (متفق عليه)
Dari ‘Aisyah ra, “Pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah terjadi gerhana matahari. Beliau lalu mengutus seseorang untuk memanggil jama’ah dengan: ash-ṣalātu jami’ah (mari kita lakukan salat berjama’ah). Orang-orang lantas berkumpul. Nabi lalu maju dan bertakbir. Beliau melakukan empat kali ruku’ dan empat kali sujud dalam dua raka’at.” (HR. Bukhari-Muslim)
b. Salat gerhana dilaksanakan secara berjamaah di masjid. Dalam sebuah hadis dari ‘Aisyah, Rasulullah saw., mengendarai kendaraan di pagi hari lalu terjadilah gerhana. Lalu Raasulullah saw., melewati kamar istrinya (yang dekat dengan masjid), lalu beliau berdiri dan menunaikan salat. Dalam riwayat lain dikatakan bahwa Nabi mendatangi tempat salatnya (yaitu masjidnya) yang biasa dia salat di situ.
Ibnu Hajar al-Asqalani mengatakan, ”Yang sesuai dengan ajaran Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah mengerjakan salat gerhana di masjid. Seandainya tidak demikian, tentu shalat tersebut lebih tepat dilaksanakan di tanah lapang agar nanti lebih mudah melihat berakhirnya gerhana.” (Fathul Bari, 4: 10)
c. Berkhutbah setelah selesai salat Gerhana, sebagaimana diriwayatkan Aisyah,
ثُمَّ قام فَخَطَبَ الناس فَأَثْنَى على اللَّهِ بِمَا هو أَهْلُهُ ثُمَّ قال إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ من آيَاتِ اللَّهِ لاَ يَخْسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ ولا لِحَيَاتِهِ فإذا رَأَيْتُمُوهَا فَافْزَعُوا لِلصَّلاَةِ [رواه مسلم]
(Setelah shalat gerhana) Kemudian sesudah itu beliau berdiri dan berkhutbah kepada para jamaah di mana beliau mengucapkan pujian kepada Allah sebagaimana layaknya, kemudian beliau bersabda: Sesungguhnya matahari dan Bulan adalah dua dari tanda-tanda kebesaran Allah, dan tidak mengalami gerhana karena mati atau hidupnya seseorang. Apabila kamu melihatnya, maka segeralah salat. (HR. Muslim)
3. Perbanyak sedekah sebagaimana sabda Rasulullah saw.
إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَا يَخْسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلَا لِحَيَاتِهِ فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا
“Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Gerhana ini tidak terjadi karena kematian seseorang atau lahirnya seseorang. Jika melihat hal tersebut maka berdo’alah kepada Allah, bertakbirlah, kerjakanlah salat dan bersedekahlah.” (HR. Bukhari Muslim).
Daftar Pustaka
Al-Qur’an al-Quddus, Kudus: Mubarakah Thayyibah, 2012.
Al-Asqalani, Ibnu Hajar, Fathul Bari Bi Syarkhi Shohih Bukhori, Beirut: Dâr al-Ma’rifah
Al-Bukhari, Imam, Shahih al-Bukhari, Beirut: Dar al-Kutub alIlmiyah, 1999
Bin Shalih, Muhammad, Shahih Fiqh Sunnah, Riyadh: Maktabah Taufiqiyah, 2012
Khazin, Muhyiddin, Ilmu Falak Dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta: Buana Pustaka, 2004
Muslim, Imam, Shahih Muslim, Beirut: Dar al-Fikr, 1989
Republika.co.id
Info
Penulis : | Hj. Nuraini, M.a |
---|---|
Tanggal : | 07 May 2024 |
Pembaharuan : | 20 July 2024 |