Cermin

234

Dilihat

      Yusril benar-benar tersinggung. Ucapan Bizhak, Yuda, Maman, Qisha, Mira dan beberapa teman yang lain membuat ia sakit hati. Sabtu sore selepas Ashar, Hanif datang ke sekretariat OSIS. Ia bermaksud bergabung dengan teman-temannya sesama pengurus OSIS yang esok pagi akan mengadakan kunjungan studi banding sekaligus rekreasi ke Bandung. Rencananya berangkat jam setengah lima pagi bada sholat Subuh. Tapi ia ditolak mentah-mentah.
      “Sori, Ril. Acara ini sudah tidak tambah peserta,” kata Maman.
      “Pendaftarannya ‘kan sudah ditutup kemarin,” tambah Yuda sambil memasukkan kamera ke dalam tasnya.
      “Bukankah jatah kursinya masih sisa dua? Satu bis’kan untuk 60 orang. Katanya yang daftar baru 58 orang,” kata Yusril.
     “Persoalannya bukan sisa atau tidak kursinya. Tapi peraturan bahwa pendaftaran paling lambat hari kemarin ini harus ditegakkan. Biar kita jadi terbiasa disiplin,” timpal Bizhak.
      “Apa tidak ada kebijakan khusus buat anggota aktif seperti saya?”
      “Pokoknya tidak !” sahut Maman.
      Beberapa teman yang ada di sekretariat itu pun mengemukakan alasan sama yang membuat Yusril tersinggung. Intinya adalah dia ditolak.
      “Kalau mau ikutan ya lain kali saja. Tapi ingat, mendaftarnya jangan telat,” ujar Qisha yang nampak sibuk menghitung stiker.
      “Ril, sebaiknya malam nanti kamu di rumah saja,” kata Mira sambil senyum-senyum.
      “Gunakan waktu untuk banyak merenung, mawas diri atau bercermin.”
      “Datangi saja orang bijak. Siapa tahu ia mampu menunjukkan siapa diri kamu yang sebenarnya. Dan itu bakal lebih bermanfaat dari pada kamu ikut ke Bandung,” sambung gadis manis itu.
      Yusril benar-benar kecewa. Ia tidak menyangka kalau teman-temannya tega menolaknya. Ia pikir tak ada masalah terlambat mendaftar. Toh pesertanya belum full sehingga jatah kursinya masih sisa.
      Yusril buru-buru meninggalkan ruang secretariat OSIS. Di luar nampak para anggota rombongan yang sudah berkumpul untuk mengikuti briefing kegiatan esok pagi.
      Mentari sudah Kembali ke peraduannya. Malam pun datang menggantikan pagi. Ketika rombongan pengurus OSIS bergembira menikmati perjalanan ke Bandung, Yusril malah sedang gelisah di kamarnya. Ia hanya tiduran. “Minggu yang galau,” desahnya. Beberapa kejadian yang belakangan ini mengganjal di hatinya terlintas di benaknya. Kata-kata teman-temannya sore kemarin terasa masih terngiang-ngiang di telinga.
      “Ah, mereka benar. Aku harus banyak merenung dan mawas diri,” katanya sembari bangkit dari tempat tidur. Lalu ia melangkah meninggalkan rumah.
Siang itu, Yusril benar-benar mengadakan introspeksi. Maka diturutinya anjuran Mira – gadis yang selama ini ditaksirnya- agar ia mendatangi orang bijak. Didatanginya rumah Malik, kakak seniornya di OSIS yang kini telah masuk SMA. Malik orangnya memang alim, pintar, ramah, sederhana. Rajin mengaji. Aktif di beberapa organisasi sekolah sehingga banyak wawasan dan pengalaman. Ia masih duduk di bangku SMA kelas 12.
      Kedatangannya disambut tuan rumah dengan baik-baik. Sebentar kemudian Yusril dan Malik sudah terlibat dalam perbincangan mengasyikkan. Sampai akhirnya Yusril mengungkapkan apa yang belakangan ini mengganjal di hati dan mengganggu benaknya.
      “Entah mengapa, belakangan ini aku merasa teman-teman membenci dan menjauhiku,” ungkap Yusril perlahan.
      “Teman-teman di OSIS mulai meninggalkanku kalau ada kegiatan.” Malik hanya tersenyum. Ia belum berkomentar.
      “Juga teman-teman cewek di kelas. Mereka nampaknya muak melihatku. Pak Ray dan Bu Imas juga mulai tak mempercayaiku. Para gurupun mulai ikutan memusuhiku,” lanjut Yusril.
      Lagi-lagi Malik hanya tersenyum dan tidak segera angkat suara.
      “Aku betul-betul gak tahu, mengapa jadi begini. Mengapa mereka seolah tidak menganggap aku ini begitu tiada arti. Padahal aku,….aku,…..,” Yusril terus saja menumpahkan segenap kekesalannya.
      Yang diajak bicara tetap belum bekomentar. Ia masih berusaha untuk menjadi pendengar yang baik. Malik tahu persis siapa yunior yang sedang dihadapinya itu. Yusril orangnya memang suka meremehkan orang lain. Juga punya sifat sombong. Malik, tentu paham betul soal itu. Banyak contohnya kok. Misalnya, Ketika Keisya ditunjuk Pak Ray mewakili sekolah untuk mengikuti lomba pidato di kecamatan, Hanif tertawa sinis.
      “Ih, si Keisya itu bisanya apa? Ngomong saja nggak becus kok disuruh maju pidato,” kata Yusril pada teman-temannya. Tetapi Ketika ia sendiri disuruh maju lomba, ia bilang sangat sibuk.
      Banyak hal yang membuat Yusril tidak dipercaya orang. Sebagai salah seorang pengurus OSIS, ia kerap kali tidak beres dalam bekerja. Tapi kerjanya malah suka mengecam sesama pengurus habis-habisan.
      Dulu, Ketika ia ditunjuk jadi ketua panitia tujuh belasan, ia menolak. Tapi Ketika Firas yang dengan Ikhlas menerima jabatan itu, Yusril meremehkan dan berkomentar;
      “Firas itu bisanya apa? Kok dia yang jadi ketua panitia? Wah, bakal tak sukses acaranya.” Dalam hal ingkar janji ia adalah jagonya. Begitupun untuk mengobral janji dan kebohongan.
      Malik masih belum berkomentar.
      “Apakah mungkin wajahku ini terlalu buruk, terlalu menakutkan,” ucap Yusril lirih, nyaris tak terdengar.
      Setelah pemuda tanggung itu puas melontarkan segala uneg-unegnya barulah Malik mau angkat bicara. Dengan hati-hati ia memberikan nasehat-nasehat. Ia pikir inilah saat yang tepat untuk membantu perilaku Yusril yang selama ini kurang baik.
      “Kamu memang harus banyak bercermin! Banyak mengoreksi diri, mawas diri. Nanti kamu tahu siapa dirimu. Dengan banyak bercermin kamu akan tahu apa kekuranganmu, sehingga bisa memperbaikinya,” tutur Malik perlahan. Yusril kelihatan agak tegang.
      “Bercermin?” tanya Yusril agak heran.
      “Ya. Bercermin diri. Introspeksi.”
      “Bercermin?” tanya pemuda tanggung itu lagi. “Bercermin ‘kan?”
      Malik mengangguk. Dan tiba-tiba Yusril mohon diri. Tuan rumah sudah berusaha mencegahnya, tapi Yusril benar-benar angkat kaki dari tempat itu.
      Pemuda itu berlari menuju rumahnya. Ia ingin cepat-cepat membuktikan apa yang dikatakan senior yang sangat dihormatinya itu. Bahwa dengan bercermin ia akan tahu siapa dirinya. Juga kekurangannya.
      Sesampai di rumah ia langsung masuk kamar dan berdiri di muka cermin yang tergantung di dinding. Dipandanginya lekat-lekat bayangan yang ada di cermin. Hanif begitu kaget. Bayangan yang nampak bukanlah wajahnya. Yang terlihat di cermin adalah wajah yang buruk. Bahkan buruk sekali!
      Yang muncul di cermin adalah sebuah wajah berkulit hitam legam. Muka penuh koreng. Mata melotot. Mulutnya yang lebar menganga menampakkan gigi-gigi yang kuning dan besar-besar. Mengerikan sekali. Yusril meraba mukanya sendiri. Tak ada yang tidak beres.
      “Mengapa bayangan yang ada di cermin ini begitu buruk?” gumamnya. Ia menoleh ke belakang. Tak ada siapa-siapa.
      “Inikah yang dimaksud Kak Malik? Dengan bercermin aku akan tahu siapa diriku yang sebenarnya? Diriku yang mulai banyak dijauhi dan dibenci orang? Diriku…..,” Yusril terus bicara sendiri.
      Ia menjadi ngeri setengah mati. Jangan-jangan wajahnya memang buruk seperti bayangan di cermin. “Pantas teman-teman kini menjauhiku. Yusril memang berwajah buruk dan mengerikan!”
      “Tidaaaaaak……..Tidaaaaaaaaaaak!” Teriak Yusril keras-keras.
      “Wajahku tidak seburuk in. pasti cermin ini yang tidak beres!”
      Yusril mengangkat dan membanting cermin yang ada di depannya. Cermin pun pecah berkeping-keping.
      Ia berlari meninggalkan kamarnya. Beralih ke kamar Aurel. Kebetulan adik perempuannya tidak sedang di rumah dan kamarnya tidak dikunci. Hanif meraih cermin yang ada di situ.
      Bayangan yang terlihat adalah wajah buruk seperti bayangan di cermin yang ia banting tadi. Ia berang. Cermin dibanting dan ia lari dari keluar. Rumah ditinggalkan begitu saja tanpa dikunci pintunya. Kebetulan ayah dan ibu Yusril sedang berpergian.
      Yusril berlari menuju rumah sebelah, rumah Pak Arif. Ia meminjam cermin, memandang bayang di cermin sebentar lalu cermin dibanting. Lari lagi. Masuk ke rumah Pak Imam. Lari lagi…
      Anak itu keluar masuk rumah tetangga. Meminjam cermin dan membantingnya. Lalu berlari. Para tetangga mengomelinya. Mereka pun akhirnya mengejar-ngejar Yusril. Entah sudah berapa cermin yang dibantingnya. Yang jelas, orang-orang yang mengejar menjadi bertambah banyak. Mereka sambil berteriak ribut.
      “Ada apa to si Yusril itu?” tanya seorang tetangga yang ikut-ikutan mengejar.
      “Dia memecahi semua cermin,” sahut yang lain.
      “Lah, kok bisa toh, anak eudaan!”
      “Mungkin sedang dia sedang stres karena nilai ulangannya jelek.”
      “Mungkin juga kerasukan jin!”
      “Seperti yang di TV itu ya?”
      “Ho-oh!”
      “Waduh, ini kaki jangan diinjak!”
      “Eh, maaf, disengaja. He he!”
      Suara-suara tak karuan terus bersliweran.
      Yusril terus berlari. Orang-orang kampung terus mengejarnya. Malam pun menjadi riuh-rendah dengan ‘acara’ kejar-kejaran. Mereka yang semula asyik nonton TV di rumah atau duduk-duduk di di gardu ronda juga ikut berpartisipasi. Pokoknya gegap gempita.
      “Tidaaak….Tidaaaaak!” teriak Yusril sambil terus berlari. Ia masuk gang sempit. Belok kiri. Melompati pagar bambu. Menyelinap dibalik bangunan yang belum jadi. Lari lagi menyusuri jalan gelap. Kampung menjadi heboh dan ramai oleh teriakan, “Kejar! Kejar terus!”
      “Orang-orang terus mengejarku!” keluh Yusril di sela desah napasnya yang memburu. Akhirnya tubuhnya yang telah bermandikan keringat itu pun terasa lemas. Ia ambruk. Orang-orang segera menangkapnya. Untung ia tidak dipukuli. Ia diseret ke rumahnya. Rumah Yusril pun mendadak menjadi penuh orang.
      “Mengapa kamu membuat kekacauan?” tanya Pak Arif, yang menjabat sebagai ketua RT di kampung Yusril.
      “Mengapa banyak cermin di beberpa rumah kamu banting?”
      “Tidaaak! Cermin-cermin itu yang salah, Pak!” teriak Yusril.
      “Tak usah teriak-teriak! Jawab yang jelas!” bentak Pak Arif.
      “Semua cermin di kampung ini tidak beres. Setiap kali saya bercermin yang muncul itu bayangan buruk dan mengerikan sekali,” jelas Yusril yang nampak masih terengah-engah.
      “Bagaimana mungkin? Aku kok tidak percaya. Coba kamu bercermin pakai cermin saya,” kata Pak Arif sembari menyuruh seseorang mengambil cermin besar di ruang tengah.
      Pak Arif mengulurkan cermin besar pada Yusril. Kembali Yusril melihat bayangan buruk di cermin. Sebuah wajah berkulit legam, muka penuh koreng, mata melotot, mulut menganga. Ia ngeri sekali.
      “Pak, benarkah bayangan di cermin itu bayangan wajah saya?”tanya Yusril setengah berteriak.
      “Benar. Memangnya ada apa? Itu memang bayangan wajahmu,” jawab Pak Arif. Ia merasa tidak menemukan hal yang tidak beres di cermin itu. Biasa saja. Tak ada yang aneh.
      “Benar ini bayangan saya?” tanya Yusril lagi. Ia bertambah ngeri. Juga kesal, takut dan malu.
      “Benar.”
      “Jadii…Jadiiiii…..Ini……….Tidaaaaak!” teriak Yusril sambil membanting cermin itu. Prang! Cermin hancur.
      Pak Arif dan orang-orang yang berkerumun di situ pun menjadi bingung.
Malam bertambah larut. Rembulan pun enggan menampakkan dirinya karena diselimuti awan. Angin malam bertiup semilir. Dingin sekali.

Info
Penulis : Eti Muhamad, M.Pd
Tanggal : 07 May 2024
Pembaharuan : 07 May 2024
Bagikan halaman ini
Tags